”Gusti kuwi ora dhahar, ora ngunjuk, ora sare. Yen arep cedhak Gusti, sing telu kuwi disuda.” Itulah pesan
kakeknya yang selalu diingatnya. Artinya kurang lebih: Tuhan itu tidak makan, tidak minum, tidak tidur. Kalau ingin dekat Tuhan, kurangi makan, minum, dan tidur. Intinya, menahan diri terhadap hal duniawi.
Pesan itu dilaksanakannya.
Di usianya yang 68 tahun, Wiro Haryono, atau si Bocah Tua Nakal (julukan dari salah satu rekan sesama prodiakon – sebutan yang konon dipinjam dari cerita silat Kho Ping Hoo - pen) tetap puasa sekuatnya, walau tidak lagi diwajibkan. Sebelumnya, sesuai ajaran Gereja, ia hanya sekali makan kenyang selama empat puluh hari masa puasa. Pernah ia berjalan tiga hari tiga malam tanpa bekal menempuh jaran sekitar 30 km. Selama perjalanan, ia hanya makan dan minum apabila ada yang bisa dimakan atau diminum ditemukan di jalan, atau dari pemberian orang berbaik hati.
Entah mengapa rekan itu menyebutnya si Bocah Tua Nakal. Barangkali, karena tubuhnya pendek kecil seperti anak-anak, namun dalam usia lanjut tetap gesit dalam berbagai aktivitas kehidupan menggereja. Memang, ia sendiri sering menyebut dirinya tuek, elek, pendek, nyelelek. Alasan yang menunjukkan sikap mau menertawakan diri itu pula yang dikemukakannya agar tidak dipilih menjadi prodiakon. Namun umat tetap saja memilihnya dengan suara terbanyak. Jadilah ia prodiakon sejak 2013, disamping menjadi anggota Tim Kerja Katekis Paroki St. Petrus dan Paulus Babadan, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, DIY.