Nglangut
Kegesitannya menjalankan tugas pelayanan dalam kehidupan menggereja, atau mengikuti acara-acara yang dilaksanakan kelompok devosi, paguyuban lansia, atau kelompok lain, membuatnya seolah hadir di mana-mana. Ketika ditanya apakah dengan usia semakin lanjut ia merasa belum waktunya menarik diri dari berbagai kesibukan, jawabnya adalah belum. “Kalau di rumah itu nglangut,” katanya.
Namun bukan itu alasan utamanya. “Di sisa usia, entah kapan Tuhan memanggil, saya ingin hidup saya bermanfaat bagi orang lain,” katanya.
Berlatar-belakang keinginan tersebut, Pak Wiro selalu mencoba melakukan sesuatu bagi orang lain. Bukan karena ia merasa bisa atau menganggap diri lebih pintar dibanding orang lain, melainkan didorong oleh niatnya berbagi sebagai ungkapan syukur.
Sebagai perwujudan ungkapan syukurnya pada Tuhan, ia berbuat baik pada siapapun, selalu menyapa ramah dan mudah menolong orang lain. Baginya perbuatan baik adalah kewajiban karena itu adalah ajaran Kristus. Akan tetapi, semua perbuatan baik dilakukannya tanpa menonjolkan diri. Sebagai contoh, tidak ada yang tidak mengetahui, bahwa ia membayar uang sekolah sejumlah siswa SLTA setiap bulan. Ia memang berpesan, sang anak dan orang lain tidak boleh tahu siapa yang membayar uang sekolah tersebut.
Sikap rendah hati tumbuh dari penghayatan iman bahwa hidup dan apapun miliknya, adalah pemberian dari-Nya. Ada ayat Kitab Kejadian yang selalu diingatnya, yang menyadarkannya bahwa hidup yang dijalaninya adalah pemberian Tuhan: …… …menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. (bdk. Kej 2:7). Penghayatan iman itu membuatnya selalu bersyukur kepada-Nya.
Merenungkan perjalanan hidupnya, dia mengakui: “Tuhan mengasihi saya luar biasa betul.” Ia mengaku, setelah berbuat baik, dia justru menerima kebaikan jauh lebih besar. Sambil tertawa ia mengatakan, dirinya kadang merasa seolah berbuat baik untuk memperoleh kebaikan yang jauh lebih besar dari Tuhan.
Sikap rendah hati pula yang membuatnya tidak pernah mau menonjolkan diri. Ia tetap tenang menyaksikan berbagai keadaan yang dialami. Terutama manakala keadaan itu berhubungan dengan orang lain, ia tetap diam, tidak mau berkomentar, kecuali diminta. Ada filosofi Jawa yang diingatnya, yang mengajarkan, “Nek kowe ora gelem dijiwit, aja njiwit wong liya.” (Kalau kamu tidak mau dicubit, jangan mencubit orang lain).