Sembuh di Sendangsono
Pak Wiro dikaruniai tiga anak, semua laki-laki. Isterinya telah meninggal tahun 2009. Sekarang, ketiga anaknya – semua laki-laki – telah bekerja dan telah berkeluarga, tidak banyak lagi yang harus dilakukannya. Terbiasa menahan diri, tidak banyak yang dibutuhkannya.
Meski demikian, ia rutin berziarah ke Sendangsono, yang, belakangan ini menjadi tempat ziarah favoritnya. Sebelumnya, ia sering berziarah ke berbagai tempat di mana Goa Maria ada.
Ada tiga alasan mengapa Sendangsono menjadi tempat kesukaannya. Pertama, jalan salib di Sendangsono cukup panjang jika dimulai dari Gereja Promasan. Ia lebih menyukai jalan Salib yang berat dan panjang, sehingga dapat menghayati penderitaan Yesus ketika memikul salib menuju Golgota.
Alasan kedua, suatu saat, sehabis kerja bakti, sekujur tubuhnya pegal luar biasa. Dua hari tidak hilang-hilang. Ia tidak pernah mengalami hal semacam itu. Biasanya, kalau merasa tidak enak badan, ia cukup mensugesti diri supaya tubuhnya bertahan, jangan sampai sakit, disertai istirahat yang cukup. Terapi itu tak mempan.
Tiba-tiba ia mendengar ada bisikan, menyuruhnya pergi ke Sendangsono untuk berdoa dan jalan salib di sana apabila ingin sembuh. Bisikan itu ia turuti. Ia pergi ke Sendangsono, berjalan salib dan berdoa. Dan ia memperoleh kesembuhan.
Alasan ketiga, setelah anaknya nomor dua menikah, anaknya yang sulung mengatakan tidak mau kalau harus dilangkahi dua kali. Pak Wiro pusing tujuh keliling. Sebab, walau ia mengatakan siap menikahkan si sulung kapan saja, ia tahu saat itu anaknya belum punya pacar. Ia ingat Bunda Maria dan Sendangsono.
Maka, setiap kali ke Sendangsono, ia menjalani jalan salib dan bedoa rosario di sana dan memohon agar anak sulungnya segera diberi jodoh. Permohonannya dikabulkan. Si sulung pun ketemu jodoh dan menikah, tak perlu lagi dillangkahi si bungsu.
Sejak itu, paling tidak dua kali sebulan ia ke Sendangsono.
Belakangan, rutinitas ziarahnya tidak lagi ke tempat itu, namun ke Gua Maria di Sriningsih, Klaten. Alasannya, sepulang dari Sendangsono, ia ditabrak sesama pengenadar sepeda motor. Ia bersyukur karena tidak luka sedikit pun. “Saya sungguh dilindungi Tuhan,” katanya. Namun peristiwa tersebut mendorongnya memutuskan tidak lagi ziarah ke Sendangsono, melainkan ke Sriningsih, Klaten.