“Jika saya tulus memikirkan gereja, nanti Tuhan pasti memikirkan saya. Tuhan pasti beri jalan,” kata Pak Ismanto menegaskan keyakinan yang membuatnya tetap tenang meski telah menjadi prodiakon selama 27 tahun.
Usia Paulus Ismanto, nama lengkapnya, kini sudah 72 tahun. Sebenarnya, saat pergantian prodiakon di Paroki St. Maria Lourdes, Sumber, Kecamatan Dukun, Muntilan, ia sudah meminta berhenti kepada Rama paroki. Salah satu alasannya, kaki kanannya sering tiba-tiba tak bertenaga sehingga membuatnya terjatuh. Rama menjawab: “Nanti kalau jadi prodiakon malah sembuh.”
Dan ajaibnya, selama melayani di altar Pak Is tidak pernah jatuh. Di sakristi atau di tempat lain, ia sudah bolak-balik jatuh. Itu dikeluhkannya kepada salah satu suster yang tinggal di Susteran AK di sebelah selatan gereja. “Suster, saya kalau jalan saja tidak jejeg, kok malah diminta tetap jadi prodiakon.” Suster itu menjawab: “Itu ‘kan panggilan...”
Pak Guru
Dulu saat melayani umat, ia harus berjalan kaki cukup jauh. Saat itu belum ada sepeda motor. Kalau tugas malam hari, ia selalu membawa senter dan tongkat besi. Ia membawa tongkat besi sebab ia takut kalau-kalau berpapasan dengan macan.
Ia pernah mengalami hal itu. Suatu malam, sepulang dari dusun Tangkil , ia mengambil jalan pintas. Di tengah kegelapan, ia menyaksikan dua sorotan sinar begitu tajam. Pak Is lantas memukul bambu pagar jembatan sekeras-kerasnya. Macan itu lari, Pak Is juga lari sekencang-kencangnya. Sandalnya copot tidak ia pedulikan.
Sekarang, zaman seperti itu sudah lewat. Ke mana pun ia bertugas malam, walau harus menempuh perjalanan jauh, ia naik sepeda motor. Ia tak perlu takut. Listrik sudah sampai ke desa-desa. Maka, di mana-mana ia dipanggil Pak Guru dan selalu diajak mampir. “Tambah saudara,” katanya.
Hal paling membahagiakan Pak Is adalah apabila jumlah katekumen yang diajarinya cukup banyak. Itu berarti jumlah yang dibaptis pun banyak pula.
Sebenarnya, ada dua prodiakon di lingkungannya. Meski demikian, Pak Is lebih sering diminta bertugas. Mungkin karena ia lebih tua.
Satu-satunya pengalaman tak enak dan mengecewakan adalah ketika ia sudah jauh-jauh berjalan kaki malam hari, tak ada umat yang datang ke sembahyangan. Padahal mereka yang mengundang. Tapi Pak Is maklum, sebab hujanlah yang merintangi mereka.
Diprotes Isteri
Ketulusan dan kesungguhannya memberi waktu, tenaga, dan pikiran bukan tanpa masalah. Isteri Pak Is, almarhum Martina Danone (wafat 2013) sempat memprotes. Pasalnya ia sangat sibuk mengurusi gereja. Selain sebagai prodiakon, ia juga merangkap jabatan lain di Dewan Paroki, antara pernah jadi Ketua Bidang Sosial Ekonomi Dewan Paroki, Pendamping OMK, bahkan menjadi Ketua Dewan Paroki selama dua periode.
“Kalau sibuk di gereja terus, mana ada lagi waktu tunggu rumah,” kata istrinya.
Pak Is paham apa maksud isterinya. Waktu serta kebutuhan keluarga juga perlu dipikirkan. Namun Pak Is tidak khawatir. Katanya: “Kalau kita melaksanakan tugas gereja sepenuh hati, nanti Tuhan akan tolong.”
Dan itu yang terjadi dalam kehidupan keluarganya. Tanpa harus mengurangi waktu bagi kehidupan menggereja, toh semua kebutuhan tercukupi. Apa yang dikerjakan Pak Is untuk menambah kesejahteraan keluarga, mulai dari menggarap sawah, bertanam cabe dan sayuran, beternak anjing ras bersertifikat, memelihara ikan hias, memelihara burung, semua berhasil baik dan menjadi sumber rejeki. Ia yakin itulah cara Tuhan menolongnya. Pendidikan ketiga anaknya bisa ia biayai sampai lulus perguruan tinggi.
Jangan sampai berpangku tangan
Pak Is menjalani masa tua masa tua tanpa beban atau ganjalan. Ketiga anaknya (semua laki-laki) sudah bekerja semua. Pagi hari diawali dengan mengikuti misa harian dari Senin sampai Sabtu, kecuali hari Selasa karena memang tidak ada misa harian. Minggu mengikuti Perayaan Ekaristi.
Di luar jam bagi Tuhan itu, hari demi hari diisi dengan berbagai kegiatan. “Pokoknya saya tidak nganggur, jangan sampai berpangku tangan,” katanya.
Ia mencontohkan, memberi burung makan, membersihkan kandang burung itu, itu sudah makan waktu sejam. Begitu pula mengurus anjing-anjingnya. Semua dilakukannya dengan senang dan penuh perhatian. “Binatang peliharaan itu kalau kita cintai, ia akan ganti mencintai kita,” katanya. Belum lagi harus pergi ke sawah, atau melihat kolam ikan. Semua itu dilakukan dengan senang hari. Ia berprinsip setiap hari harus ada yang dikerjakan. Mengerjakan sesuatu adalah hiburan baginya.
Anaknya tidak melarangnya mengerjakan apapun. Anaknya hanya mengingatkan agar jangan memaksa diri. Oleh sebab itu ia tidak menentukan kapan akan berhenti. “Semampu saya. Terserah Tuhan kapan panggil saya. Sisa waktu digunakan.”***