Pulang

   Sekarang beberapa surat panggilan itu sudah di tangannya. Dua dari yayasan yang mengelola sekolah unggulan. Satu dari Dinas Depdikbud.
     Menjadi guru di sekolah unggulan, begitu pula menjadi guru sebagai pns, sepertinya menjanjikan. Persoalannya, memenuhi salah satu penggilan itu artinya sama saja. Ia harus pindah ke Jakarta atau ke Lampung, harus mau ditempatkan di salah satu sekolah di Jawa Tengah.
    Kemarin, pegawai adminstrasi sekolah mendatanginya. Ia diminta untuk memperbarui kontrak baru. Kontrak lama memang akan berakhir bulan Juli ini. Sebenarnya, sejak tiga bulan lalu ia diingatkan membereskan persyaratan untuk memperbarui kontrak tersebut. Saat itu, ia berdalih masih sibuk menghadapi ujian sikripsi. Setelah itu, alasan barunya adalah sibuk mengurusi persyaratan untuk wisuda dan sekaligus mempersiapkan ujian akhir semester kelas yang diampunya.
     Kini, tak ada alasan lagi yang bisa dikemukakannya. Namun ia merasa tak bergairah memenuhi permintaan itu, walau ia boleh berharap jika kontrak sudah ditanda-tangani akan ada kenaikan gaji dan tunjangan.
     Ia sebetulnya senang mengajar di sekolah ini. Anak didiknya menyenangkan dan lucu-lucu. Temannya sesama pengajar baik-baik. Gaji, tunjang, serta fasilitas yang ia terima memadai. Tapi itulah. Ada hal yang tidak ia sukai. Wakil Kepala Sekolah sangat ambisius. Makhluk yang satu ini selalu menunjukkan sikap seolah paling berkuasa dari siapa pun, suka mengambil keputusan sendiri dan kemudian memaksa untuk dilaksanakan. Celakanya, sering kali keputusan itu harus dicabut kembali karena sebetulnya diputuskan tanpa pertimbangan guru lain. Salah satu yang paling berani mengkritik adalah dirinya.
    Dan karena itulah, ia memutuskan akan pindah kerja. Tempatnya bukan di sini. Beberapa saat lalu ia memasukkan lamaran. Dua ke sekolah swasta, satu ke dinas. Semuanya kini menunggu jawabannya.
*** 
     Mulanya ia tidak yakin apakah menjadi guru.adalah pekerjaan yang cocok baginya. Tapi ia berpikir, memilih jurusan lain akan menyebabkan ia harus siap bekerja sebagai orang kantoran. Suatu hal yang tidak mampu ia bayangkan. Lebih mudah membayangkan dirinya berdiri di kelas, di tengah anak-anak yang sebagaimana selalu diangankannya sejak pertama kali menyaksikan gurunya mengajar di kelas I SD.
     Di rumah, ia sering menceritakan kehebatan gurunya itu kepada ibunya. Sore hari, beberapa kali ia mengajak teman-temannya bermain sekolah-sekolahan. Teman-temannya akan duduk di atas tanah, sementara ia sendiri berdiri di tengah seolah menjadi guru. Seluruh kata-kata atau gerak-gerik gurunya ia tirukan, sepanjang yang bisa ia ingat. Ia senang tatkala menyaksikan teman-temannya menikmati permainan itu.
     Itu sebabnya ia akhirnya memilih program diploma guru SD. Lagi pula ia tidak mungkin berlama-lama menggantungkan diri pada kemurahan hati Romo Agus yang belakangan sakit-sakitan. Romo Aguslah – pastur kepala sebuah paroki di pinggiran Yogyakarta – yang menolongnya dari keterpurukan, setelah mendengar pengakuan dosanya karena ia begitu marah dan membenci entah siapa yang membuatnya dikeluarkan dari seminari, marah dan membenci pamong seminari yang tidak percaya bahwa ia tidak tahu apa-apa terkait tuduhan kepada dirinya. Segera sesudah keluar dari ruang pengakuan dosa itu, Romo Agus lantas memanggilnya, mengajaknya berbincang-bincang di pasturan. Sejak itu, Romo Agus membiayi sekolahnya sampai lulus SMA, membiayai kuliahnya. 
     Lulus program diploma, ia segera mengajar. Sambil mengajar, ia mengikuti saran Romo untuk melanjutkan ke S-1. Temannya sesama pengajar juga menyarankan demikian, sebab mereka juga begitu. Pemerintah sudah mengharuskan setiap guru SD harus berpendidikan S-1.
     Hampir dua tahun sudah ia mengajar di sekolah itu. Honor yang ia terima tak beranjak naik. Jumlahnya tak cukup untuk biaya hidup sebulan. Ia beruntung, ada orang tua yang memintanya memberi pelajaran tambahan. Dengan penghasilan tambahan itu, ia bisa membiayai kuliahnya.
     Ia tidak bisa mengerti, mengapa gaji guru honorer hanya sejumlah itu, jauh di bawah UMR. Seperti yang dikatakan Ibu Kepala Sekolah, honor yang diterimanya tak jauh berbeda dengan gaji pembantu Ibu Kepala Sekolah tersebut.
    Perkataan itu sangat menusuk hatinya. Barangkali Ibu Kepala Sekolah itu benar. Honor yang diterimanya boleh jadi sama dengan gaji pembantu Ibu Kepala Sekolah tersebut. Jika memang demikian, mengapa ia tidak memperjuangkan agar honor guru pembantu ditingkatkan? Ia seharusnya tidak boleh lepas tangan dengan berkilah bahwa sudah menjadi ketentuan yayasan seperti itu.
    Ia juga tidak mengerti, mengapa ia tidak diangkat menjadi guru tetap. Dengan menjadi guru tetap, tentu gaji yang diterimanya akan naik. Seharusnya Ibu Kepala Sekolah tidak boleh mengatakan semua ada di tangan pengurus yayasan. Sebagai kepala sekolah, ia seharusnya peduli atas anak buahnya. Ia lantas berhenti, mengajar di sekolah yang sekarang.
*** 
     Hampir tiga jam ia di kapel adorasi itu. Inilah hari kesembilan ia datang ke kapel ini, berdoa. Ia memohon petunjuk. Kalau ia harus meninggalkan kota ini, ke mana ia harus pergi. Salah satu tawaran itu harus ia pilih. Sampai sekarang, belum ada petunjuk mana yang akan ia pilih.
     Seperti pada kunjungan hari-hari sebelumnya, ia merasa berdoa tak sepenuh hati. Pikirannya melantur ke mana-mana. Ia belum bisa berdiam saja, memberi kesempatan bagi Tuhan untuk menjawab permohonannya. Ia juga merasa, saat berdoa, ia cenderung bermonolog, bukan berdialog dengan Tuhan.
     Suara anak-anak yang bermain riang langsung menyergapnya sewaktu keluar dari kapel. Suara itu mengingatkannya pada anak-anak di kampungnya. Dibayangkannya, anak-anak sekampungnya itu  akan menjalani hidup sebagaimana ia dulu. Pagi berangkat ke sekolah, sampai siang hari belajar di ruangan mirip bangsal. Semua murid dari kelas berbeda belajar di ruangan yang sama. Sekat pembatas hanya papan tulis berkaki tiga.
     Guru hanya ada dua. Satu kepala sekolah, satu guru bantu. Dulu guru ada enam. Satu mengundurkan diri karena menikah dan mengikuti suami yang bekerja di tempat lain. Tiga lainnya mengundurkan diri tanpa alasan. Praktis, hanya satu guru yang mengajar. Setelah guru menjelaskan pelajaran hari itu, murid akan diberi tugas latihan. Sesudah itu, guru akan mengajar di kelas lain. Pada akhir jam pelajaran, guru itu datang kembali untuk memeriksa tugas latihan yang dikerjakan. Sedangkan sang kepala sekolah hanya mengajar saat datang ke sekolah, itu berarti tiga hari sebelum dan sesudah tanggal 1 setiap bulan. Begitu setiap hari.
     Tak ada yang bisa diharapkan dari sekolah seperti itu kecuali mampu baca tulis agar kelurahan boleh menyatakan kampungnya bebas buta huruf, atau agar pemilik warung bisa diprotes ketika salah hitung dan karena itu keliru menyerahkan uang kembalian. Pikiran anak sekolah tidak pernah berkembang tentang apa dan bagaimana yang sebaiknya dilakukan untuk menjalani kehidupan. Tidak pernah anak sekolah mendapat wawasan dan ketrampilan yang memungkinkan mereka mampu meningkatkan nilai lebih kekayaan alam sekitar, agar kesejahteraan mereka meningkat.  Hidup hanya perlu dijalani seperti biasa, seperti yang dilakukan orang yang lebih tua.
     Gambaran keadaan itulah yang membuatnya tidak berniat pulang saat dikeluarkan dari seminari. Pulang baginya hanya mematut wajah di depan sorotan mata orang sekampung atau separoki yang akan memandangnya sebagai orang kalah. Telah sejak lama orang sekampung atau separoki akan sangat bangga jika ada remaja yang masuk ke seminari, lalu akhirnya ditahbiskan menjadi romo. Dan ia tak mampu mempersembahkan kebanggaan tersebut,  sebab ia sudah dikeluarkan dari seminari. Lagi pula, pulang hanya akan menjadi beban bagi orangtuanya, terutama karena ia sadar tidak mempunyai keahlian apapun untuk menolong keluarga atau orang sekampung.
     Setelah pemodal menyulap hutan alami menjadi perkebunan kelapa sawit, tak ada lagi kehidupan yang menyenangkan di kampung yang ia cintai. Semua sudah berbeda. Dulu, manakala keluarganya perlu ikan, cukup pergi ke sungai sebentar, menangkap ikan di lubuk di mana ikan bergerombol, dan pulang membawa beberapa ekor ikan. Kalau ingin daging babi atau rusa, ia akan membawa perangkap dan memasangnya di tempat yang diperkirakannya akan dilalui binatang hutan. Hanya perlu menunggu semalam. Esok hari, binatang itu sudah terjerat, lantus dipanggulnya pulang. 
     Sekarang kemewahan itu tidak ada lagi. Air sungai telah semakin dangkal. Ikan menghilang begitu saja. Rusa atau babi hutan juga sudah mengungsi ke hutan di seberang perkebunan kelapa sawit belasan kilometer jauhnya. Di sekitar perkampungan, hanya ada semak belukar setelah pohon habis ditebang. Kampungnya sendiri seolah pulau yang dikepung kebun kelapa sawit.
     Jadi, kalau ingin makan ikan atau daging babi, cara gampangnya pergi membelinya ke pasar. Tapi, itu suatu kemustahilan. Setiap hari ayahnya hanya mendapat 50 ribu rupiah sebagai buruh lepas perusahaan kebun kelapa sawit. Hidup semakin susah. Dulu masih bisa mendapat penghasilan tambahan dengan mengumpulkan rotan di hutan atau menderes karet di kebun milik mereka.
     Sekarang, selain mengandalkan upah, orangtuanya hanya bisa mendapat penghasilan tambahan dengan bercocok tanam di lahan sempit. Seperti orang lain, ayahnya juga terlanjur menjual tanah  ke pemilik kebun kelapa sawit. Tergiur bujukan makelar tanah yang menjanjikan akan dijadikan pekerja perkebunan, lima hektar tanahnya yang ditumbuhi pohon karet pindah tangan.
     Barangkali, seandainya tetap tinggal di kampungnya, ia akan menjadi seperti temannya yang lain. Setelah lulus SD, berhenti sekolah dan bekerja membantu orangtua, atau menjadi buruh perkebunan kelapa sawit. Di sana tidak ada SMP. Kalau ingin sekolah di SMP, harus ke kota kecamatan berjarak 50 km. Banyak orang tua yang menganggap itu tak bermanfaat, cuma buang waktu dan uang. Setelah lulus SD, kebanyakan anak-anak bekerja membantu orangtua, atau bekerja apa saja, lalu menikah.
     Suara anak-anak bermain dengan riang di luar kapel itu membuatnya tertegun. Tuhan telah menjawab doanya melalui suara anak-anak itu. Suara anak-anak yang mengingatkannya akan kenyataan sangat jarang guru bersedia mengajar di kampungnya yang terpencil. Hatinya lega, sebab merasa tak perlu lagi memilih satu pun panggilan jadi guru yang telah diterimanya.***



Pulang